Kelaek, si hidung mancung kera Belande…
Mukaddimah …
Untuk yang lupa ke mana arah tujuannya, coba
lihat di sekeliling lagi, mungkin kita lama salah arah atau tersesat. Jika
melihat ke belakang, dan masih sempat, berpalinglah sejenak…
Sudah lama sekali aku tidak memposting
tulisan seperti janjiku pada tulisan pertama. Maklum, niatan menulis masih tumpang
tindih, dan ide belum mengerucut. Kali ini, terlintas dipikiranku ingin
menceritakan tentang hal yang sepertinya patut untuk dikenal oleh orang banyak.
Mohon maaf jika konten blognya masih dasar :D
Daerahku yang
rindang, sejuk nan damai. Pohonnya kokoh seperti nama kotanya. Katanya, kota ku
ini serambi mekkah, berada di bagian utara Kalimantan Barat, sehingga ia
disebut daerah pantai utara. Kotaku ini awalnya adalah daerah kerajaan dengan
peninggalan berupa kesultanan dan masjid megah nan kokoh di kawasan istana Alwatzikoebillah.
Nama Alwatzikoebillah sendiri, diambil dari bahasa arab yang artinya Berpegang
Teguh Kepada Allah SWT.
Awalnya, pada zaman dahulu letak kesultanan
sambas berada di kota lama, lalu raja pertama yang bernama Raden Sulaiman
hijrah ke kota bangun, kabarnya kota bangun mengalami perkembangan yang lebih
maju di banding kota lama, sebelum akhirnya Raden Sulaiman memutuskan untuk
hijrah ke Lubuk Madung. Raden Sulaiman pun diangkat menjadi raja pertama dengan
nama Sultan Muhammad Syafiuddin (Syukri Rifai, 2012).
Oke, sudah dulu
mengenai sejarah singkat tentang kesultanan kota Sambas. Poin utama yang ingin
disampaikan dalam hal ini adalah tentang Sambas di masa sekarang.
Sambas, daerah yang
mengalami pemekaran dari kota Singkawang dari kabupaten induk, telah mengalami
banyak perkembangan dalam sektor pembangunan sejak 17 tahun lalu. Optimisme
untuk berkembangnya sambas menjadi kota yang maju sesuai dengan visi yang
dicanangkan oleh bupati sambas periode 2016-2021, H. Atbah Romin Suhaili yaitu
“Mewujudkan masyarakat Kabupaten Sambas yang berakhlakul karimah,
unggul dan sejahtera menuju Sambas Hebat”.
Menanggapi hal
tersebut (lah emang gua siapA sok sok menanggapi, punten), sebagai urang Sambas
yang sudah menumpang hidup di kota Sambas selama lebih dari 17 tahun dan 6
tahun di daerah Sambas nye, seharusnya anak daerah seperti saya sudah berbuat
sesuatu untuk daerahnya. Tempat saye berpijak dan berkembang itoklah yang
banyak memberikan kenangan, sehingga indak rasenye nak terpisah dengan kote
kelahiran. Boleh dikatekan Sambas ye udah mendarah daging :D (bahasa sambas
mode : ON)
Sekarang kita masuk
ke tujuan utamanya, aku bukan termasuk anak yang suka jalan-jalan nelusuri
daerah, jadi wajar kalo sampai sekarang aku belum pernah mengunjungi ujung
Kalimantan di pesisir sambas, Temajuk dan Pulau wisata paling cantik
pemandangannya, Lemukutan. Rada sedih juga sebenernya hehe
Hingga akhirnya, aku dituntut untuk menemukan
permasalahan di daerahku yang berhubungan dengan bidang studiku untuk lanjut
kuliah. Aku dikenalkan pada tanah Borneo yang penuh dengan hutan hujan tropis
(sebelum jadi hutan sawit :’) ), kelembaban udara tinggi, temperature udara
berkisar 22-36ºC (BPS Kota Pontianak, 2015), menjadikan hutan hujan tropis
sebagai surga (megabiodiversity) bagi flora dan fauna bahkan tempat berlindung
bagi satwa yang terancam punah.
Karena masih banyak
pohon-pohon besar, Sambas memang dulunya masih banyak dikelilingi hutan dan
menjadi tempat tinggal yang nyaman untuk beberapa jenis hewan. Bernostalgia
sedikit, waktu kecil aku sering mendengar cerita tentang binatang-binatang di
hutan yang sering ditemui orang-orang zaman dahulu, seperti burung ruai (Kuau
Besar), monyet hitam (Owa Kalimantan), Orang utan, kelaek / kera belanda (bekantan), barrok
(Monyet Beruk), luttong (Lutung) dan masih banyak lagi, hewan yang yang
sekarang dapat dikategorikan langka yang tersebar di hutan hujan tropis. Namun
sayangnya, keberadaan mereka di tanah Kalimantan sudah tidak banyak lagi (alias
dapat dihitung keberadaannya), bahkan beberapa dari mereka sudah tergolong
satwa langka dan hampir punah.
Tepatnya pada
tanggal 26 Desember lalu, perjalanan menuntunku pada sebuah kawasan konservasi
“Ekowisata Sebubus” yang terdapat di desa Sebubus, Kabupaten Paloh. Menempuh
perjalanan sekitar 4 jam dari kota Sambas menuju Sebubus, kamu akan disajikan
dengan pemandangan hutan bakau sepanjang kawasan konservasi dari , sampai daerah sungai menuju pantai dan Batu
Bejamban. Nah di ekowisata ini terdapat hewan yang sedang dilindungi
keberadaannya, yaitu kelaek (dalam bahasa melayu Sambas) / Bekantan. Awalnya
perhatianku hanya terpaku pada penampilan fisik bekantan yang bertubuh besar,
berambut pirang, suka memanjat bagian aksial (ujung) pohon, dan tentunya yang
membuat si kelaek ini mudah dikenali, memiliki hidung mancung, sehingga menarik
perhatian. Namun, nyatanya hewan ini sudah jarang ditemukan.
Kami sampai di sana
sekitaran jam 13.00 WIB, dengan niat ingin melihat bekantan berayun dari satu
pohon ke pohon lain, menggetarkan daun pohon dengan lambaian tangannya yang
panjang, aku memang sengaja untuk berdiam lebih lama. Setelah 2 jam menunggu,
si kelaek yang ditunggu tak kunjung datang L, hari sudah semakin sore dan mendung dan
angin berembus semakin kuat. Padahal saat itu niatanku ingin melihat
penampakannya secara langsung, karena pertama kali aku melihat hewan ini ketika
melakukan kuliah lapangan Ekologi Hewan di Padang Tikar, Kubu Raya. Si kelaek
yang enggan ditemui ini rupanya sangat pemalu, mereka hanya keluar ketika
mencari makan pada pagi hari jam 05.00-07.00 WIB dan sore hari menjelang
maghrib. Kami (aku dan sepupu-sepupuku) pun memutuskan untuk pulang. Kalau
kalian ingin berkunjung, ada sedikit gambaran bagaimana keadaan ekowisata di
sana. Kamu bisa masuk untuk menikmati suasana hutan bakau hanya dengan tiket
masuk seharga Rp 1.000 ,- dan pastinya agar selalu menjaga kebersihan kawasan
ekowisata selama kamu berkunjung.
Jika kalian masuk
ke kawasan ekowisata ini, pertama-tama kalian akan melewati gerbang dan
jembatan kemudian berjalan sekitar 300 meter dan melewati jembatan kedua. Ini contoh
poster yang dipasang di depan pintu masuk kawasan Ekowisata Sebubus, mengenai
pengenalan bekantan.
Di daerah ekowisata
ini, sudah dibentuk tim pengelola, yang peduli terhadap konservasi hutan bakau,
bekantan dan satwa lainnya yang ada di daerah ini. Mereka membuat komuintas Tim
Kalilaek. Tim Kalilaek ini adalah orang-orang yang telah berkontribusi banyak
dalam menumbuhkan kepedulian terhadap hutan bakau dan bekantan, hingga
dibentuknya ekowisata sebubus. Tentang Tim Kalilaek dan informasi yang
berkaitan dengan keadaan di pesisir paloh, kalian bisa mengunjungi http://pesisirpaloh.blogspot.co.id/2016/12/mengenal-lebih-dekat-bekantan-sihidung.html.
Apa kaitannya hutan bakau dengan bekantan ?
Bekantan adalah salah satu jenis primata famili
Cercopithecoidea (termasuk Old World Monkey) yang merupakan spesies tunggal
dari marga Nasalis. Ciri yang paling mudah dikenali dari hewan ini adalah
hidung mancung dan ukuran tubuh besar. Namun sebenarnya, antara jantan dan
betina memiliki ciri-ciri yang berbeda, dimana jantan memiliki hidung besar dan
mancung dan ukuran tubuh lebih besar dari betina, sedangkan betina memiliki
hidung lancip dan berukuran tubuh lebih kecil.
Hewan ini tinggal pada habitat hutan bakau,
yang juga digunakan sebagai sumber makanan. Untuk bekantan yang tinggal di
hutan bakau Sebubus, pakannya adalah pucuk daun muda dari pohon bakau. Sehingga
memang hutan bakau sangat berperan penting bagi keberlangsungan hidup bekantan.
Lalu apa permasalahannya ?
1. Luas hutan bakau yang tersedia berkurang
dan dialihfungsikan lahan.
2. Hewan bekantan dijadikan hewan buruan
3. Perlindungan / konservasi terhadap satwa
liar dan langka ini dibeberapa lokasi masih kurang memadai.
Hewan berhidung mancung dan berambut pirang
ini memiliki kehidupan yang dimulai dengan populasi single male dan multi male.
Single male terdiri dari beberapa betina yang dijaga oleh satu jantan, dan
multi-male adalah kumpulan beberapa jantan, kebanyakan jantan yang berumur muda.
Namun, sayangnya karena jumlahnya yang semakin berkurang, populasi ini tidak
dapat berjalan sebagaimana mestinya. Untuk daerah Sebubus sendiri, terdapat 70
ekor bekantan (jantan+betina) disepanjang pesisir lokasi ekowisata hingga Batu Bejamban
dan Pelabuhan Merbau.
Jumlah
yang sangat sedikit untuk lokasi paparan yang lumayan luas, aneh bukan ?
Apa
yang dapat kita lakukan untuk mendukung pelestariannya ?
1.Kita bisa berkontribusi dengan tetap
menjaga tempat tinggal / habitat asli dari bekantan ini, saah satu caranya
dengan tidak menebang pohon bakau dan mengalihfungsikan lahannya menjadi lahan
pembangunan, pertanian mauun kebutuhan komersil lainnya.
2. Menjaga kelestariannya bekantan dengan
tidak memburu hewan tersebut. Perlu kita ketahui, bahwa hewan langka dengan
status endangered menurut PP no 7 tahun 1999.
Inget loh, ada hokum tentang perlindungan
satwa langka.
Lebih lanjut dikatakan dalam Pasal 4 ayat (2)
Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan
Satwa (“PP 7/1999”) bahwa satwa yang dilindungi adalah sebagaimana terlampir
dalam Peraturan Pemerintah ini, antara lain: orang utan, Harimau Jawa, Harimau
Sumatera, Badak Jawa, Penyu, dan sebagainya.
Pada dasarnya, larangan perlakuan secara
tidak wajar terhadap satwa yang dilindungi terdapat dalam Pasal 21 ayat (2) UU
5/1990 yang berbunyi:
“Setiap orang dilarang untuk :
a.
menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara,
mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup;
b.
menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa
yang dilindungi dalam keadaan mati;
c.
mengeluarkan satwa yang dilindungi dari suatu tempat di Indonesia ke
tempat lain di dalam atau di luar Indonesia;
d.
memperniagakan, menyimpan atau memiliki kulit, tubuh atau bagian-bagian
lain satwa yang dilindungi atau barang-barang yang dibuat dari bagian-bagian
satwa tersebut atau mengeluarkannya dari suatu tempat di Indonesia ke tempat
lain di dalam atau di luar Indonesia;
e.
mengambil, merusak, memusnahkan, memperniagakan, menyimpan atau memiliki
telur dan/atau sarang satwa yang dilindungi.”
Sanksi pidana bagi orang yang sengaja
melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21
ayat (2) adalah pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling
banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) (Pasal 40 ayat [2] UU 5/1990).
Nah, bagi teman-teman yang berbiat untuk
membantu secara materil, kami mengajak teman-teman maupun para donatur yg
bersedia membantu dalam pelestarian terhadap lingkungan flora dan fauna.
Bantuannya dapat disampaikan melalui Bank Kalbar dengan no rekening
2925014951, A.n Kalilaek & Green
Leaf. Sebelumnya di ucapkan terima kasih atas bantuan dan partisipasinya.
Salam Konservasi J
Komentar
Posting Komentar