Kelaek, si hidung mancung kera Belande…



Mukaddimah …
Untuk yang lupa ke mana arah tujuannya, coba lihat di sekeliling lagi, mungkin kita lama salah arah atau tersesat. Jika melihat ke belakang, dan masih sempat, berpalinglah sejenak…

Allah berfirman: "Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran" (Al-Baqarah 2:186)

          Sudah lama sekali aku tidak memposting tulisan seperti janjiku pada tulisan  pertama. Maklum, niatan menulis masih tumpang tindih, dan ide belum mengerucut. Kali ini, terlintas dipikiranku ingin menceritakan tentang hal yang sepertinya patut untuk dikenal oleh orang banyak. Mohon maaf jika konten blognya masih dasar :D

Daerahku yang rindang, sejuk nan damai. Pohonnya kokoh seperti nama kotanya. Katanya, kota ku ini serambi mekkah, berada di bagian utara Kalimantan Barat, sehingga ia disebut daerah pantai utara. Kotaku ini awalnya adalah daerah kerajaan dengan peninggalan berupa kesultanan dan masjid megah nan kokoh di kawasan istana Alwatzikoebillah. Nama Alwatzikoebillah sendiri, diambil dari bahasa arab yang artinya Berpegang Teguh Kepada Allah SWT.

        Awalnya, pada zaman dahulu letak kesultanan sambas berada di kota lama, lalu raja pertama yang bernama Raden Sulaiman hijrah ke kota bangun, kabarnya kota bangun mengalami perkembangan yang lebih maju di banding kota lama, sebelum akhirnya Raden Sulaiman memutuskan untuk hijrah ke Lubuk Madung. Raden Sulaiman pun diangkat menjadi raja pertama dengan nama Sultan Muhammad Syafiuddin (Syukri Rifai, 2012). 

Nah, dimanakah Lubuk Madung berada sekarang ? Ia adalah daerah kesultanan sekarang yang lebih dikenal dengan kampung Dalam Kaum. Disebut Dalam kaum, karena pada zamannya kaum keluarga raja dan hulu balang (penjaga) yang mengurus istana bermukim di daerah sekitar istana. Ada yang istimewa dari Lubuk Madung ini, didepannya terdapat sungai yang merupakan pertemuan 3 titik, yaitu Sungai Subah, Sungai Sambas Kecil, dan Sungai Teberau. 3 titik pertemuan ini sering menghasilkan putaran air, yang mana konon katanya bermakna legenda. Wallahu alam bishawab. 
Oke, sudah dulu mengenai sejarah singkat tentang kesultanan kota Sambas. Poin utama yang ingin disampaikan dalam hal ini adalah tentang Sambas di masa sekarang.
Sambas, daerah yang mengalami pemekaran dari kota Singkawang dari kabupaten induk, telah mengalami banyak perkembangan dalam sektor pembangunan sejak 17 tahun lalu. Optimisme untuk berkembangnya sambas menjadi kota yang maju sesuai dengan visi yang dicanangkan oleh bupati sambas periode 2016-2021, H. Atbah Romin Suhaili yaitu “Mewujudkan masyarakat Kabupaten Sambas yang berakhlakul karimah, unggul dan sejahtera menuju Sambas Hebat”.
Menanggapi hal tersebut (lah emang gua siapA sok sok menanggapi, punten), sebagai urang Sambas yang sudah menumpang hidup di kota Sambas selama lebih dari 17 tahun dan 6 tahun di daerah Sambas nye, seharusnya anak daerah seperti saya sudah berbuat sesuatu untuk daerahnya. Tempat saye berpijak dan berkembang itoklah yang banyak memberikan kenangan, sehingga indak rasenye nak terpisah dengan kote kelahiran. Boleh dikatekan Sambas ye udah mendarah daging :D (bahasa sambas mode : ON)
Sekarang kita masuk ke tujuan utamanya, aku bukan termasuk anak yang suka jalan-jalan nelusuri daerah, jadi wajar kalo sampai sekarang aku belum pernah mengunjungi ujung Kalimantan di pesisir sambas, Temajuk dan Pulau wisata paling cantik pemandangannya, Lemukutan. Rada sedih juga sebenernya hehe
 Hingga akhirnya, aku dituntut untuk menemukan permasalahan di daerahku yang berhubungan dengan bidang studiku untuk lanjut kuliah. Aku dikenalkan pada tanah Borneo yang penuh dengan hutan hujan tropis (sebelum jadi hutan sawit :’) ), kelembaban udara tinggi, temperature udara berkisar 22-36ºC (BPS Kota Pontianak, 2015), menjadikan hutan hujan tropis sebagai surga (megabiodiversity) bagi flora dan fauna bahkan tempat berlindung bagi  satwa yang terancam punah.

Kalo pagi hari dan seteah hujan, daerahku ini adem banget, aroma tanah yang ditempa air hujan, embun yang melekat di kaca jendela, suara burung-burung dan binatang yang hinggap di pohon belakang rumah, dapat dijadikan sebagai obat anti depressant / penghilang stress.
Karena masih banyak pohon-pohon besar, Sambas memang dulunya masih banyak dikelilingi hutan dan menjadi tempat tinggal yang nyaman untuk beberapa jenis hewan. Bernostalgia sedikit, waktu kecil aku sering mendengar cerita tentang binatang-binatang di hutan yang sering ditemui orang-orang zaman dahulu, seperti burung ruai (Kuau Besar), monyet hitam (Owa Kalimantan), Orang utan,  kelaek / kera belanda (bekantan), barrok (Monyet Beruk), luttong (Lutung) dan masih banyak lagi, hewan yang yang sekarang dapat dikategorikan langka yang tersebar di hutan hujan tropis. Namun sayangnya, keberadaan mereka di tanah Kalimantan sudah tidak banyak lagi (alias dapat dihitung keberadaannya), bahkan beberapa dari mereka sudah tergolong satwa langka dan hampir punah.
Tepatnya pada tanggal 26 Desember lalu, perjalanan menuntunku pada sebuah kawasan konservasi “Ekowisata Sebubus” yang terdapat di desa Sebubus, Kabupaten Paloh. Menempuh perjalanan sekitar 4 jam dari kota Sambas menuju Sebubus, kamu akan disajikan dengan pemandangan hutan bakau sepanjang kawasan konservasi dari  , sampai daerah sungai menuju pantai dan Batu Bejamban. Nah di ekowisata ini terdapat hewan yang sedang dilindungi keberadaannya, yaitu kelaek (dalam bahasa melayu Sambas) / Bekantan. Awalnya perhatianku hanya terpaku pada penampilan fisik bekantan yang bertubuh besar, berambut pirang, suka memanjat bagian aksial (ujung) pohon, dan tentunya yang membuat si kelaek ini mudah dikenali, memiliki hidung mancung, sehingga menarik perhatian. Namun, nyatanya hewan ini sudah jarang ditemukan.
Kami sampai di sana sekitaran jam 13.00 WIB, dengan niat ingin melihat bekantan berayun dari satu pohon ke pohon lain, menggetarkan daun pohon dengan lambaian tangannya yang panjang, aku memang sengaja untuk berdiam lebih lama. Setelah 2 jam menunggu, si kelaek yang ditunggu tak kunjung datang L, hari sudah semakin sore dan mendung dan angin berembus semakin kuat. Padahal saat itu niatanku ingin melihat penampakannya secara langsung, karena pertama kali aku melihat hewan ini ketika melakukan kuliah lapangan Ekologi Hewan di Padang Tikar, Kubu Raya. Si kelaek yang enggan ditemui ini rupanya sangat pemalu, mereka hanya keluar ketika mencari makan pada pagi hari jam 05.00-07.00 WIB dan sore hari menjelang maghrib. Kami (aku dan sepupu-sepupuku) pun memutuskan untuk pulang. Kalau kalian ingin berkunjung, ada sedikit gambaran bagaimana keadaan ekowisata di sana. Kamu bisa masuk untuk menikmati suasana hutan bakau hanya dengan tiket masuk seharga Rp 1.000 ,- dan pastinya agar selalu menjaga kebersihan kawasan ekowisata selama kamu berkunjung.  
Jika kalian masuk ke kawasan ekowisata ini, pertama-tama kalian akan melewati gerbang dan jembatan kemudian berjalan sekitar 300 meter dan melewati jembatan kedua. Ini contoh poster yang dipasang di depan pintu masuk kawasan Ekowisata Sebubus, mengenai pengenalan bekantan.









 



Di daerah ekowisata ini, sudah dibentuk tim pengelola, yang peduli terhadap konservasi hutan bakau, bekantan dan satwa lainnya yang ada di daerah ini. Mereka membuat komuintas Tim Kalilaek. Tim Kalilaek ini adalah orang-orang yang telah berkontribusi banyak dalam menumbuhkan kepedulian terhadap hutan bakau dan bekantan, hingga dibentuknya ekowisata sebubus. Tentang Tim Kalilaek dan informasi yang berkaitan dengan keadaan di pesisir paloh, kalian bisa mengunjungi http://pesisirpaloh.blogspot.co.id/2016/12/mengenal-lebih-dekat-bekantan-sihidung.html.
                                                           
Apa kaitannya hutan bakau dengan bekantan ?

Bekantan adalah salah satu jenis primata famili Cercopithecoidea (termasuk Old World Monkey) yang merupakan spesies tunggal dari marga Nasalis. Ciri yang paling mudah dikenali dari hewan ini adalah hidung mancung dan ukuran tubuh besar. Namun sebenarnya, antara jantan dan betina memiliki ciri-ciri yang berbeda, dimana jantan memiliki hidung besar dan mancung dan ukuran tubuh lebih besar dari betina, sedangkan betina memiliki hidung lancip dan berukuran tubuh lebih kecil. 
Hewan ini tinggal pada habitat hutan bakau, yang juga digunakan sebagai sumber makanan. Untuk bekantan yang tinggal di hutan bakau Sebubus, pakannya adalah pucuk daun muda dari pohon bakau. Sehingga memang hutan bakau sangat berperan penting bagi keberlangsungan hidup bekantan.
Lalu apa permasalahannya ?
1. Luas hutan bakau yang tersedia berkurang dan dialihfungsikan lahan.
2. Hewan bekantan dijadikan hewan buruan
3. Perlindungan / konservasi terhadap satwa liar dan langka ini dibeberapa lokasi masih kurang memadai.  
Hewan berhidung mancung dan berambut pirang ini memiliki kehidupan yang dimulai dengan populasi single male dan multi male. Single male terdiri dari beberapa betina yang dijaga oleh satu jantan, dan multi-male adalah kumpulan beberapa jantan, kebanyakan jantan yang berumur muda. Namun, sayangnya karena jumlahnya yang semakin berkurang, populasi ini tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya. Untuk daerah Sebubus sendiri, terdapat 70 ekor bekantan (jantan+betina) disepanjang pesisir lokasi ekowisata hingga Batu Bejamban dan Pelabuhan Merbau.
            Jumlah yang sangat sedikit untuk lokasi paparan yang lumayan luas, aneh bukan ?
            Apa yang dapat kita lakukan untuk mendukung pelestariannya ?
1.Kita bisa berkontribusi dengan tetap menjaga tempat tinggal / habitat asli dari bekantan ini, saah satu caranya dengan tidak menebang pohon bakau dan mengalihfungsikan lahannya menjadi lahan pembangunan, pertanian mauun kebutuhan komersil lainnya.
2. Menjaga kelestariannya bekantan dengan tidak memburu hewan tersebut. Perlu kita ketahui, bahwa hewan langka dengan status endangered menurut PP no 7 tahun 1999.
Inget loh, ada hokum tentang perlindungan satwa langka.
Lebih lanjut dikatakan dalam Pasal 4 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa (“PP 7/1999”) bahwa satwa yang dilindungi adalah sebagaimana terlampir dalam Peraturan Pemerintah ini, antara lain: orang utan, Harimau Jawa, Harimau Sumatera, Badak Jawa, Penyu, dan sebagainya.


Pada dasarnya, larangan perlakuan secara tidak wajar terhadap satwa yang dilindungi terdapat dalam Pasal 21 ayat (2) UU 5/1990 yang berbunyi:


“Setiap orang dilarang untuk :
a.    menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup;
b.    menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan mati;
c.    mengeluarkan satwa yang dilindungi dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia;
d.    memperniagakan, menyimpan atau memiliki kulit, tubuh atau bagian-bagian lain satwa yang dilindungi atau barang-barang yang dibuat dari bagian-bagian satwa tersebut atau mengeluarkannya dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia;
e.    mengambil, merusak, memusnahkan, memperniagakan, menyimpan atau memiliki telur dan/atau sarang satwa yang dilindungi.”
Sanksi pidana bagi orang yang sengaja melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) adalah pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) (Pasal 40 ayat [2] UU 5/1990).

Ada pengecualian bagi penangkapan satwa yang dilindungi tersebut, yaitu hanya dapat dilakukan untuk keperluan penelitian, ilmu pengetahuan, dan/atau penyelamatan jenis tumbuhan dan satwa yang bersangkutan. Selain itu, pengecualian dari larangan menangkap satwa yang dilindungi itu dapat pula dilakukan dalam hal oleh karena suatu sebab satwa yang dilindungi membahayakan kehidupan manusia. Membahayakan di sini berarti tidak hanya mengancam jiwa manusia melainkan juga menimbulkan gangguan atau keresahan terhadap ketenteraman hidup manusia, atau kerugian materi seperti rusaknya lahan atau tanaman atau hasil pertanian (lihat Pasal 22 ayat [1] jo. ayat [3] dan Penjelasan Pasal 22 ayat [3] UU 5/1990). (Justika.com)
Nah, bagi teman-teman yang berbiat untuk membantu secara materil, kami mengajak teman-teman maupun para donatur yg bersedia membantu dalam pelestarian terhadap lingkungan flora dan fauna. Bantuannya dapat disampaikan melalui Bank Kalbar dengan no rekening 2925014951,  A.n Kalilaek & Green Leaf. Sebelumnya di ucapkan terima kasih atas bantuan dan partisipasinya.
Salam Konservasi J
Description: C:\Users\USER\Downloads\bekantan-2.jpg

Komentar

Postingan Populer